menuj Kisah Sayid Abdurrahman Alaydrus yang diberi Buku Saku oleh Nabi Muhammad - Pena Teungku //
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Sayid Abdurrahman Alaydrus yang diberi Buku Saku oleh Nabi Muhammad


Alkisah, tiga sosok santri duduk dengan sikap khusuk di hadapan pusara baginda Nabi Saw. Mereke merajut ikrar hendak mengamalkan kitab bidayah hidayah yang baru saja mereka khatamkan. Mereka bertiga adalah Sayid Abdurrahman bin Mustahafa al-aydrus, Sayid Syaikh bin Muhammad al Jufri dan Abdullah bin Muhammad Bagharib.

Niat mereka demikian tulusnya hingga Baginda Nabi Saw. Berkenan menampakkan diri. Beliau duduk di tengah-tengah mereka dan memberikan wejangan, "kalian bertiga bakal memperoleh fath (singkapan rahasia ilmu). Wahai Syaikh, pergilah ke Malibar Disanalah fath mu, dan kamu Bagharib, pergilah ke Hadramaut, Fath mu disana. Sedang kamu Abdurrahman pergilah ke Mesir. Fath mu ada di Negeri itu.

Mereka bertiga menganggukkan kepala sebagai tanda patuh, hanya saja ada sedikit ganjalan di hati Sayid Abdurrahman. Dengan sikap sopan ia mengungkapkan kerisauannya, "Duhai Rasulullah, di Mesir sana banyak ulama besar, bagaimana nantinya bila mereka menanyaiku tentang berbagai persoalan agama?

Baginda Rasulullah memaklumi kegundahan cucunya itu. Kemudian Rasulullah menghadiahi Sayud Abdurrahman buku saku seraya berpesan "Segala persoalan yang ada di benak ulama Mesir terangkum dalam buku kecil ini. apabila kamu mendapat pertanyaan dari mereka, buka saja buku ini!"

Ketiga pemuda berhati mulia itu bergegas berangkat melaksanakan titah baginda Rasul, Syekh al-Jufri bertolak ke Malibar dan Abdullah bin Muhammad Bagharib menuju Hadramaut, sementara itu Sayid Abdurrahman al-Aydrus berangkat ke Mesir yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu. Dilingkungan Al-Azhar saja terdapat 300 ulama bertaraf Mufti.

Ia tiba di negeri seribu piramid itu di ujung senja. Tak mau membuang waktu ia langsung mencari tahu tempat berkumpulnya para ulama. Setelah bertanya, ia memperoleh petunjuk bahwa para ulama sedang ijtima' (berkumpul dalam majlis) di kediaman seorang ulama yang bergelar Syaikhul Islam. Maka iapun segera mendatangi tempat itu.

Setibanya di rumah Syaikhul Islam, Sayid Abdurrahman langsung didekap perasaan heran. Ia melihat para tamu di rumah itu ditempatkan sesuai kapasitas ilmunya. Ruangan tersalam diperuntukkan para ulama sufi. Ruangan berikutnya untuk ulama Fikih. Ruangan berikutnya lagi untuk ulama ahli bahasa dan sastra. Begitu seterusnya hingga ruangan terluar disediakan untuk masyarakat awam. Penempatan seperti itu diatur sendiri oleh sang pemilik rumah.

Dengan percaya diri Sayid Abdurrahman langsung masuk ke ruangan paling dalam, yakni tempat para ulama tasawuf. Para pakar tasawuf merasa terusik oleh kehadiran Sayid Abdurrahman yang mereka anggap sebagai tamu tak diundang.

"Ia bukan termasuk golongan dari kita!" sindir salah satu dari mereka.

Sayid Abdurrahman tau diri. Ia mundur teratur ke ruangan para ulama fikih. Dasar nasib. Diruangan tersebut, ia mendapatkan perlakuan yang sama. Dan terus demikian sampai ia terdampar di kelompok orang-orang awam.

Kalau azan magrib berkumandang, semuanya keluar menuju masjid jamik Al Azhar. Bukannya segera melakukan shalat, malah mereka berdebat terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang paling pantas untuk menjadi imam. Syaikhul Islam yang menjadi penegah berkata begini. "Begini saja. Siapa yang mampu menyebutkan seratus kesunnahan takbiratul ihram, dia yang pantas menjadi imam," begitulah ia memberi keputusan tegas. Suasana menjadi hening sejenak lantaran masing masing sibuk memikirkan jawaban.

"Aku bisa!" teriak Sayid Abdurrahman dari arah belakang. Semuanya kaget sekaligus keheranan atas teriakan itu. Namun belum lagi keheranan sirna dari wajah mereka, Sayid Abdurrahman menyebutkan satu persatu kesunnahan takbiratul ihram.

Bibir pemuda itu terus menyebutkan kesunnahan takbiratul ihram hingga menembus angka seratus. Tapi ia tak sampai berhenti sampai disitu. Ia melanjutkan hingga melewati angka dua ratus. Baru ketika akan memasuki angka tiga ratus, Syaikhul Islam buru-buru menghentikan.

"Cukup...cukup, kamulah yang berhak menjadi imam!" ucapnya. Sayid Abdurrahman pun didaulat menjadi imam di depan ulama-ulama berkaliber dunia itu.

Meski demikian, hati para ulama Mesir masih belum puas. Mereka belum mau mengakui keilmuan keilmuan Sayid Abdurrahman. Seusai shalat mereka membuat semacam perhitungan untuk mengukur kealiman anak muda itu. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumit kepadanya. Sementara itu Sayid Abdurrahman tenang-tenang saja. Setiap ada pertanyaan yang diajukan kepadanya, ia membuka buku saku yang dihadiahkan Baginda Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallam. Jawabannya tentu saja tersedia di situ dengan detail.

Kemampuan Sayid Abdurrahman menjawab soal-soal yang sulit dengan dengan buku itu membuat seluruh ulama jadi penasaran. Buku macam apa yang membuatnya dengan mudah menjawab seluruh pertanyaan yang mereka ajukan? Mereka kemudian minta memperlihatkan buku itu. Sayid Abdurrahman menolak permintaan mereka karena takut buku berharga itu rusak. Karena tak dipenuhi, akhirnya mereka merampas buku itu dari tangan Sayid Abdurrahman dengan paksa.

Pada saat itulah sebuah peristiwa mengerikan terjadi. Sayid Abdurrahman memperoleh hal (kondisi) kewalian yang luar biasa. Perangainya yang tadinya kalem berubah menjadi ganas dan menyeringai. Tangannya menyambar lampu-lampu masjid yang apinya sedang menyala. Ia memakan lampu itu dengan lahapnya. Tak hanya itu. Ia kemudian mengambil kitab kitab dan karpet karpet yang membentang untuk dimakan juga. Semua orang ketakutan melihat pemandangan itu dan seolah tak percaya. Para ulama Mesir segera mengembalikan buku saku itu kepada Sayid Abdurrahman dan memohon maaf.

Akan tetapi Sayid Abdurrahman belum sadar juga. Amarahnya masih membara hingga ia tak merasakan keadaan di sekelilingnya. Baru setelah beberapa lama, ia akhirnya sadar.

"Apa yang telah kulakukan?" tanyanya keheranan.
"Anda tadi melakukan ini dan itu... Akibatnya kita semua kegelapan sekarang." jawab seseorang.

"Mana buku saku milikikku?" tanya Sayid lagi
"Ini..." mereka langsung memberikan buku itu.

Setelah mengenngam kembali buku sakunya, Sayid Abdurrahman membuka mulut lalu mengeluarkan lampu-lampu yang masih menyala satu persatu dari mulutnya itu.

"Adapun karpet dan kitab-kitab, ambillah disana !" sampul memberi isyarat dengan tangannya.

Peristiwa itu membuka mata para ulama mesir bahwa Sayid Abdurrahman bukan orang sembarangan. Ia adalah salah satu orang yang ditunjuk Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menjadi khalifah beliau. Mereka akhirnya tunduk dan bersedia menjadi muridnya. Sayid Abdurrahman al aydrus wafat di Mesir. Makamnya diberi kubah dan menjadi tempat ziarah kaum muslimin sampai saat ini.

(Hikayat-Hikayat dari Negeri Hadramaut, halaman 21-25)

Post a Comment for "Kisah Sayid Abdurrahman Alaydrus yang diberi Buku Saku oleh Nabi Muhammad"