Kisah Pernikahan Syaikh Ramadhan Al Buthy
Sumber Foto: Tangkap Layar YouTube Imamsyafii TV |
Dulu saat saya masih menjadi santri di pondok pesantren MUDI Mesjid Raya Samalanga, pihak UMDAH mengeluarkan sebuah Majalah edisi ke 13 yang diterbitkan pada bulan Januari 2017 M / Jumadil Awal 1438 H, majalah edisi 13 tersebut terbilang sangat istimewa dan sangat bagus untuk dibaca.
Namun yang paling berkesan bagi saya, dalam UMDAH tersebut terdapat sebuah kisah pernikahan Syaikh Ramadhan Al Buthy, dimana disana diceritakan bahwa Syaikh Ramadhan Al Buthy menikah dalam usia yang relatif muda yaitu 18 tahun, itu semua atas perjuangan Ayah beliau Syaikh Mulla Al Buthy.
Kisah ini terdapat dalam kitab karangan Syaikh Ramadhan Al Buthy sendiri yang bernama Hadza Walidy "ini ayahku", sekitar halaman 61 jika dalam bentuk PDF nya.
Begini cerita selengkapnya :
"Ketika Ayah beliau (Syeikh Mulla Ramadhan Al Buthi) ingin menikahkannya, sedang umurnya ketika itu masih delapan belas tahun.
Syeikh Mulla berpegang kepada Hadis riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,“ Barang siapa yang dikaruniakan seorang anak hendaklah ia memberikan nama yang baik, dan mengajarkannya adab. Apabila ia telah besar hendaklah ia menikahkankahnya. Apabila ia telah besar dan tidak dinikahkan lalu ia berbuat dosa, maka dosa tersebut akan ditanggung oleh ayahnya.”
Syeikh Mulla tidak peduli dengan pendapat yang mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis lemah. Dalam buku tersebut Syeikh Buthi juga menyebutkan bahwa ayahnya merupakan seorang ahli fikih dan tasawuf.
Ketika rencana pernikahan tersebut disampaikan kepada Syeikh Buthi, beliau sangat terkejut dengan rencana yang sama sekali tidak terlintas dipikirannya, untuk menikah di usianya yang masih belia. Beliau pun berusaha keras untuk meyakinkan ayahnya bahwasanya ia belum berkeinginan untuk menikah.
Usaha Syeikh Buthi tidak membawa hasil, bahkan ayah beliau mengambil kitab Ihya Ulumuddin dan dibacakan kepadanya tentang kelebihan dan pentinggnya menikah. Melihat keinginan ayahnya yang sangat besar, Syeikh Buthi tidak ingin mengadunya dengan keinginannya untuk tidak menikah muda, beliau takut itu akan menjadikannya durhaka terhadap orang tua. Ia pun akhirnya ridha dengan rencana ayahnya.
Lalu Ayahnya mengkhitbah seorang wanita untuknya, ia pun menerimanya demi menaati perintah sang ayah. Syeikh Buthi sangat tau, bahwa ayahnya ketika itu sedang mengalami masa-masa sulit ekonomi, bahkan hal-hal kecil yang dibutuhkan untuk keperluan pernikahanpun tidak ada.
Syeikh Buthi sangat teringat, ketika ayahnya mengeluarkan beberapa buku kesayangannya untuk dijual, demi memenuhi keinginan untuk menikahkan anaknya.
Lalu menikahlah Syeikh buthi. Pernikahannya betul-betul mendatangkan banyak kebaikan dan keberkahan, serta menjadi pengawal kokoh bagi imannya.
Ada satu hal yang membuat Syeikh Ramadhan Buthi begitu gembira, sekaligus yang membuatnya berterima kasih kepada ayahnya. Yaitu ketika suatu subuh, setelah pulang dari mesjid ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan, “ Kamu masih tidur! Seharusnya kedatangan “mereka” harus engkau bayar dengan sujud bersyukur sepanjang malam.”
Mendengar suara ayahnya Syeikh Buthi terjaga, beliau bergegas keluar bertanya siapa “mereka” yang dimaksudkan ayahnya.
Ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku bermimpi dan melihat Rasulullah bersama para sahabat mendatangiku dan berkata, “ Sesungguhnya aku datang untuk mengucapkan selamat kepada Sa’id (Syeikh Buthi) atas perkawinannya.”
Syeikh Buthi mengatakan bahwa itu merupakan kado perkawinannya yang paling membahagiakan. Kehidupan Syiekh Buthi setelah itu pun selalu diberikan kesenangan dan kemudahan dalam keluarganya".
Berikut ini redaksi matan lengkap
ولما أصبحت في الثامنة عشرة من عمري ، أصر رحمه الله على أن يزوجني ، وكان يميل إلى القول بوجوب تزويج الوالد ابنه ، إذا بلغ مبلغ الرجال ، وعلم أنه بحاجة إلى الزواج ، وكان في وسع والده أن يزوجه، مستدلا على ذلك بالحديث الذي رواه البيهقي عن ابى سعيد الخدري وعبـد الله بن عباس ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من ولد له ولد فليحسن اسمه وأدبه ، فإذا بلغ فليزوجه . فإن بلغ ولم يزوجه فأصاب إثما فإنما إثه على أبيه ولم يكن يبالي بما قد يقال من ضعف الحديث
ولما عرض علي الزواج ، فوجئت من عرضه هذا بما لم أكن أتوقع ، ولم أكن أفکر فيه أو أنهيا له . فاستعفيته وأكدت له عدم رغبتي في الزواج ، ولكنه أصر على رأيه ، وأخذ يقرأ لي صفحات من كلام الإمام الغزالي في الإحياء عن الزواج وضرورته وفوائده . . ورأيت أن إصراري على الرفض مقابل إصراره على التزويج سيزجني في معنى من معاني العقوق . فرضيت بما قد أصر عليه
وخطب لي شقيقة زوجته التي كانت تكبرني بعدة سنوات ، وقبلت بذلك انصياعا لرغبته وتلبية لأمره ، وكنت أعلم أنه يمر بحالة عسر ، وأن أقل ما يتطلبه مشروع زواج ، من المال ، غير متوفر لديه . فأذكر أنه باع جزء من الكتب العزيزة عليه في مكتبته ، ليوفر ما يمكن أن يكون عون لتحقيق رغبته تلك . وتزوجت . وكان لي في ذلك الخير الكبير والحصن المنيع
وكان من أهم ما شرح صدري ، وأثلج فؤادي باستجابتي لأمر أبي ، أنه طرق باب غرفتي ذات صباح وأنا نائم بعد رجوعه من صلاة الصبح في المسجد ، وكان ذلك بعد زواجي بأسبوع تقريبا ، وراح يناديني بصوت مرتفع قائلا : أنت لا تزال نائما ، والبشائر التي جاءتك تستوجب أن تقطع الليل كله ساجدأ شاكرأ ! !. . واستيقظت على صياحه ، وخرجت أسأله عن البشائر التي يعنيها . فقال : رأيت الليلة في الرؤيا رسول الله مقبلا ومعه ثلة من الرجال علمت أنهم من اصحابه وقال لي : جئنا لنهنئ سعيدا بزواجه ! . . كانت هذه البشارة أول ما أشعرني بسعادة ذلك الزواج ، ثم تلا ذلك الخير الكبير الذي أكرمني الله به والين الوفير إلى هذا اليوم
(Kitab Hadza Walidy, halaman 61 versi Pdf, Karangan Syaikh Ramadhan Al Buthy)
Post a Comment for "Kisah Pernikahan Syaikh Ramadhan Al Buthy "